muhasabah

dibawah langit

Assalamu'alaikum

Label

Jumat, 14 Januari 2011

Indahnya Memaafkan




Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalianmendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.”

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah saw mendatanginya dengan membawakan makanan. Tanpa berucap sepatah kata pun, Rasulullah menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu, sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah Muhammad—orang yang selalu ia caci maki dan sumpah serapahi.

Rasulullah saw melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Setelah wafatnya Rasulullah saw praktis tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abu Bakar berkunjung ke rumah anaknya Aisyah, yan g tidak lain tidak bukan merupakan istri Rasulullah. Ia bertanya kepada anaknya itu, “Anakku, adakah kebiasaan Rasulullah yang belum aku kerjakan?”

Aisyah menjawab, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja.”

“Apakah Itu?” tanya Abu Bakar penasaran. Ia kaget juga karena merasa sudah mengetahui bagaimana kebiasaan Rasulullah semasa hidupnya.

“Setiap pagi Rasulullah selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana,” kata Aisyah.

Keesokan harinya Abu Bakar RA pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu. Abu Bakar mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik, “Siapakah kamu ?”

Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa.”

“Bukan! Engkau bukan ora ng yang biasa mendatangiku,” bantah si pengemis buta itu dengan ketus “Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan tersebut setelah itu ia berikan padaku.”

Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah saw.”

Seketika itu juga kaget pengemis itu. Ia pun menangis mendengar penjelasan Abu Bakar, dan kemudian berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia…. ” Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abu Bakar saat itu juga dan sejak hari itu menjadi Muslim.

~~~~~~~~~~~~~


Dari peristiwa itu, kita melihat betapa luhur dan mulianya Nabi dalam memberikan maaf justru kepada orang yang selama itu telah memusuhi, membenci, menghina dan mencaci Nabi. Tanpa menunjukkan sedikit pun tanda-tanda kebencian maupun rasa ingin membalas dendam. Sikap Rasulullah yang penyantun, penyayang dan pengampun menunjukkan bahwa beliau adalah manusia yang tidak menyukai permusuhan.

Tidak ada seorang manusia pun di muka bumi ini yang terlepas dari amarah. Yang terpenting adalah bagaimana sikap kita untuk menahan emosi ketika datang amarah. Tidak jarang kita mendengar berbagai macam kasus perceraian, pembunuhan, penipuan dan lain sebagainya hanya karena sebuah kemarahan. Oleh karena itu, amarah pada tingkat tertentu merupakan ukuran bagi kadar keimanan. Sekuat apapun ibadah seseorang, jikalau dia pemarah, maka tetap akan rusak imannya. Kerugian pemarah di antaranya adalah dalam pergaulan ia tidak disukai karena para pemarah itu wajahnya tampak tidak menyenangkan. Kata-katanya pun kotor dan keji. Bahkan mungkin seorang pemarah seringkali tidak sadar terhadap apa yang telah dikatakannya.

Amarah berasal dari hati. Jika dasar hati manusia adalah sombong dan merasa harga dirinya lebih baik dari orang lain, maka itulah yang membuat manusia susah memaafkan. Bukankah kita hidup bermasyarakat? Kita pasti membutuhkan orang lain, dan mungkin pada suatu saat nanti kita membutuhkan bantuan dari orang yang menyakiti kita.
Orang yang sulit memaafkan adalah orang yang hatinya keras layaknya batu. Sebaliknya, orang yang lapang dada akan senantiasa mudah untuk memaafkan kesalahan orang lain, bahkan sebelum orang itu minta maaf, dia akan lebih dahulu memaafkan. Allah SWT yang Maha Pemurah dan Pemaaf saja selalu memaafkan kesalahan manusia, kenapa kita sebagai manusia yang hina ini selalu angkara murka dan susah untuk memaafkan?

Allah berfirman: “…dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An Nuur, 24:22)

Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al Qur’an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telahmenganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik:


… dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)

Juga dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa pemaaf adalah sifat mulia yang terpuji. “Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” (Qur’an 42:43)

Berlandaskan hal tersebut, kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an, “…menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.” (QS. Ali ‘Imraan, 3:134)

Pemahaman orang-orang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup sesuai ajaran Al Qur’an. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah itu. Di lain pihak, sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus.

Karena mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang dada dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang beriman juga mampu memaafkan walau sebenarnya mereka benar dan orang lain salah.

Ketika memaafkan, mereka tidak membedakan antara kesalahan besar dan kecil. Seseorang dapat saja sangat menyakiti mereka tanpa sengaja. Akan tetapi, orang-orang beriman tahu bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, dan berjalan sesuai takdir tertentu, dan karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa ini, tidak pernah terbelenggu oleh amarah

Ibnu Qudamah dalam Minhaju Qashidin menjelaskan bahwa makna memberi maaf di sini ialah sebenarnya engkau mempunyai hak, tetapi engkau melepaskannya, tidak menuntut qishash atasnya atau denda kepadanya. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Quran menjelaskan: Kata maaf berasal dari bahasa Al-Quran alafwu yang berarti “menghapus” karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas luka di hatinya. Bukanlah memaafkan namanya, apabila masih ada tersisa bekas luka itu didalam hati, bila masih ada dendam yang membara. Boleh jadi, ketika itu apa yang dilakukan masih dalam taraf “masih menahan amarah”. Usahakanlah untuk menghilangkan noda-noda itu, sebab dengan begitu kita baru bisa dikatakan telah memaafkan orang lain.

Islam mengajak manusia untuk saling memaafkan. Dan memberikan posisi tinggi bagi pemberi maaf. Karena sifat pemaaf merupakan bagian dari akhlak yang sangat luhur, yang harus menyertai seorang Muslim yang bertakwa. Allah swt berfirman: “…Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas tanggungan Allah.” (Q.S.Asy-Syura : 40). Dari Uqbah bin Amir, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “wahai Uqbah, bagaimana jika kuberitahukan kepadamu tentang akhlak penghuni dunia dan akhirat yang paling utama? Hendaklah engkau menyambung hubungan persaudaraan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, hendaklah engkau memberi orang yang tidak mau memberimu dan maafkanlah orang yang telah menzalimimu.” (HR.Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baghawy).

Memaafkan memiliki banyak manfaat, bukan hanya bagi orang lain namun juga bagi diri sendiri. Ada beberapa manfaat lain yang bisa didapatkan dari memaafkan yaitu:
  • Memaafkan baik untuk ketenangan pikiran. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang yang banyak memaafkan, porsi marahnya akan sedikit. Seorang pemaaf memiliki ketenangan jiwa yang tinggi dan tingkat depresi yang rendah.
  • Memaafkan baik untuk kesehatan tubuh. Orang yang banyak memaafkan memiliki kesehatan yang lebih baik daripada orang yang menyalahkan orang lain.
  • Memaafkan adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu dan kesabaran yang tinggi. Saat anda memaafkan, sebenarnya anda melakukannya untuk diri anda sendiri, bukan orang lain.
  • Memaafkan bukan berarti menyetujui perilaku yang dilakukan orang yang berbuat kesalahan, tapi lebih kepada melihat kunci permasalahan yang terjadi terhadap diri anda. Intinya intropeksi diri.
  • Kesalahan yang terjadi tidak selamanya bernilai negatif. Dengan melihat permasalahan dari sudut yang positif akan tampak bahwa segala kesalahan bisa membawa hikmah yang positif untuk hidup.
  • Memaafkan adalah suatu pilihan. Memilih untuk terus membawa rasa kesal yang membebani atau ingin meringankan diri dari perasaan tersebut dengan memaafkan.
  • Memaafkan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan tekanan darah. Saat beban itu terpendam, otot akan menegang, kepala berdenyut, leher dan punggung serasa membeku, pencernaan terganggu, keringat berlebihan, jantung tak berfungsi baik, nafas tersengal-sengal. Setelah itu mungkin anda akan dihadapkan oleh penyakit kronis seperti kanker. Untuk itu, jangan pernah menutup pintu maaf anda kepada orang lain, termasuk diri anda sendiri. 
Mulailah biasakan memaafkan orang lain ataupun kepada diri sendiri. Tapi jangan hanya ucapan saja, niatkan diri dan rasakan sensasi dari memaafkan. Semoga kita bisa memaafkan diri sendiri ataupun orang yang ada disekitar kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar